danau toba

danau toba
selalu ingin kesana

Kamis, 07 Juli 2011

KEKASIH HATI PUJAAN BANGSA

"Isei tulang?"
"Borukku"
"Bah, nga balga balga hape boruni tulang?"
"Nungga, si nomor dua nama i"
"Di au mai tulang"
"Jolo balga ma da"
"Olo tulang, dang saonari"


"Nga kalas piga ho pariban?"
"Kalas lima"
"Olo do ho diau?"
"Daong, ho pe nga balga au tagelleng dope"
"Paimaonku doho"

"Horeee.... lulus!!!!!!!!"
Belum ada rencana apa-apa setelah aku lulus, untuk kuliah buat aku sesuatu yang tidak mungkin karena alasan ekonomi. Kerja? Ah, paling di medan dan bekerja di pabrik-pabrik. Dan, lupakanlah itu dulu. Nikmati saja pengangguran ini.

Suatu kali kekasihku pun menanyakan hal itu, mau kemana dan bagaimana. Dan jawabku pun masih sama. "Bukankah kau mau ke jakarta, kan saudaramu banyak disana dan kakakmu pun?"
"Nggaklah, terlalu cepat memikirkan merantau, tenang saja. Aku tidak akan meninggalkanmu secepat itu"
"Benar, janji?"
"Benar, janji!!!"

Selang beberapa hari, nantulangku datang dari Bandung. Ditengah-tengah melepas rindu nantulangku mengajakku ikut dia. "Marhua ho dison, annon disuru ho muli. Tu na mabalu muse".Tanpa pikir panjang aku meng'iya'kan. Walaupun saat itu bapakku tercinta sulit melepasku. (Pak, seandainya aku mendengarmu, masih selalu terbayang saat aku pamit kau langsung pergi ke belakang dan aku yakin kau pasti menitikkan airmata). Dan aku pun pergi diantara isak adik-adikku dan mengingkari janjiku kepada kekasihku. Berharap mendapat sesuatu yang bisa merubah hidup, atau jangan-jangan hanya memperpanjang episode pahitnya kehidupan.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun pun berlalu, begitupun dengan kekasih hati. Tahun ketiga aku pulang, sudah rindu dengan semuanya. Kenyataannya, aku bukan perantau sukses. Aku pulang hanya sebatas melepas rindu dan sedikit oleh-oleh. Aku berharap bertemu dengan kekasihku, tapi tak kunjung juga. Malam itu, diantara canda tawa antara aku dan adik-adikku kekasihku datang. Senang sekali rasanya, ingin memeluk tapi malu. Bercerita panjang lebar tentang badai kehidupan, di tengah rindu-rinduan dia selipkan keinginan untuk tetap bersamaku.

"Terserah kau, aku ikut kau atau kau ikut aku. Kalau kau ikut aku, aku bisa mencarikanmu pekerjaan dan aku bertanggungjawab atas kebutuhan dan tempat tinggalmu. Kalau aku yang ikut kau, kau cukup menyediakan tempat sementara, sampai aku menemukan pekerjaan, kau tidak usah membiayai aku".
Itu pilihan mematikan buat aku.
"Nggak boleh begitu, kalau kau mau ke sana datang saja sendiri. Dan jika kau sudah sampai, datang saja ke rumah, dan aku akan memperlakukanmu sebagaimana kekasih. Kalau aku tinggal bersamamu, itu tidak baik".

Harinya pun tiba, aku akan meninggalkan mereka semua, lagi. Sesungguhnya aku sudah tidak menginginkan ini. Kekasihku pun masih memohon untuk tinggal, tapi kuabaikan. "Kalau kita jodoh, kita akan bertemu".

Kembali berkecimpung dengan dunia yang tidak kuharapkan ini, tapi apa boleh buat. Kekasihku tak kunjung datang malah berita menyakitkan yang kuterima. Dia menikah!! Seandainya aku tinggal, mungkinkah itu tidak akan terjadi? Entahlah...

Aku kepincut pada seorang lelaki. Baik, ramah, sopan dan bekerja. Kami pun menjalin asmara, serius! Mungkin, karena dia sudah cinta mati dan takut kehilangan aku, dia mengajakku menikah. "Apa??? Oo... tidak bisa! Aku masih muda dan belum mau menikah. Kami bubar dan diapun menikah. Ternyata dia bukannya cinta mati apalagi takut kehilangan, sepertinya dia sudah tidak tahan hidup sendiri dan diapun menikah.

Kembali menjalani hidup, melewati hari-hari, bulan dan tahun. Banyak yang datang, banyak juga yang pergi.  Ada saatnya aku berada dipuncak kebahagiaan dan ada saatnya jatuh terpuruk. Untuk mengangkat kepala saja tidak sanggup. Semua itu bisa kulewati, keteguhan hati, kepercayan diri, pertolongan Tuhan yang membuat aku kuat. Tidak ada yang muluk-muluk dalam kehidupanku. Aku bukan pekerja keras, tidak ambisius. Tapi bukan pemalas dan tidak pesimis. Hidup penuh liku-liku. Tidak usah penyesalan tapi perlu melihat ke belakang. Nasib orang berbeda-beda namun banyak yang sama. Boleh berusaha merubah hidup namun tak satu pun bisa merubah takdir.

Tapi saat ini, ijinkan aku untuk menyesal, meratapi nasib dan mencoba menyalahkan takdir.  Ijinkan aku untuk berada di titik kelemahan, di titik ketidakberdayaan dan mungkin mencoba menyalahkan Tuhan. Tapi bukan berarti aku pasrah atau pun menyerah. Apalagi untuk meninggalkan Tuhan dan hidup tanpa arah.

Empat hari yang lalu, aku berulang tahun. Inilah umur terakhir penantianku untuk menikah, tapi tak kunjung tiba. Aku mencoba menyalahkan, tapi siapa yang harus disalahkan. Aku, dia, nasib, takdir atau Tuhan!! Perjalanan hidupku biasa-biasa saja. Belum ada tindakan abnormal. Percintaanku pun biasa2 saja, tidak ada kekasih yang kutinggalkan dengan cara berlebihan. Putus  dan berganti kekasih itu hal biasa. Apalagi meninggalkan kekasih di altar pernikahan, sesuatu yang tidak mungkin. Memikirkannya pun tidak. Dan anganku pun memaksaku untuk melayang ke setiap masa dan kisah.

"Kau sudah lulus, sudah berumur 17 tahun dan artinya kau sudah dewasa. Sekarang aku memintamu untuk menikah dengan aku. Tujuh tahun aku menantimu dan membebaskanmu untuk menghabiskan masa pacaranmu. Selama tujuh tahun aku tidak mengutikmu, bahkan berpacaran di depan mataku pun kau ku biarkan. Karena aku tahu kau sudah milikku. Perbincangan kita, perbicangan antara aku dan tulang tujuh tahun yang lalu itu bukan basa basi, itu serius. Tak usah kau berpikiran untuk kuliah apalagi untuk merantau. Persiapkanlah dirimu untuk menikah". Aku berusaha menolak dengan halus tapi sepertinya dia memaksaku dan berani berbuat apapun karena dia akan dan pasti bertanggungjawab.

Inilah yang kuhindari, inilah alasanku, kenapa aku dengan senang hati menuruti ajakan nantulangku ke Bandung. Kenapa aku mengingkari janjiku dengan kekasihku, kenapa aku tidak memperpanjang masa pengangguranku di kampung dan kenapa juga aku tidak mendengarkan larangan bapakku untuk tetap tinggal. Tidak ada yang tahu itu, tidak ada yang mengerti itu karena hanya aku dan Tuhan yang tahu. Inilah yang kusesali, inilah yang kusalahkan. Aku pergi meninggalkan ajakan pernikahan. Aku pergi menghindari ajakan pernikahan. Inilah yang selalu terbayang dalam anganku.

Tuhan, apakah aku salah? Salah apa? Apa aku tidak berhak memilih jalan hidupku?
Apa ini karma, karma siapa? Aku? Apa aku pantas menerima karma atas kesalahan yang tidak kuperbuat?
Tuhan, hanya kau yang tahu. Jika aku menyalahkanMu, aku berdosa dan murtad.  Jika aku menyalahkanku, aku hanya mengikuti jalan hidupku. Jika aku menyalahkan dia, dia juga berhak meminta perempuan untuk istrinya.
Tapi, aku masih menunggu keajaibanMu. Karena kembali, aku hanya dan tetap percaya padaMu. Apapun yang terjadi dan akan itu semua kehendakMu. Apapun yang kulakukan dan akan itu semua atas sepengetahuanMu. Sekali lagi, aku percaya dan menanti keajaibanMu. Ampuni aku jika sesekali menggerutu dan putus asa. Dan selalu ingatkan aku apapun bisa terjadi dan ke siapa pun.

Kekasih hatiku pujaan bangsa, siapapun kau, dimana pun kau ingatlah akan diriku. Tidak ada gunanya kau mengulur-ulur waktu. Akan banyak hal yang akan kita lakukan dan aku takut waktu kita tidak cukup. Jadi, bergegaslah, tak usah kau membawa banyak-banyak. Bawalah imanmu, itu cukup untukku asal kau bisa mempertanggung-jawabkan nilai-nilai dari imanmu itu.


Untuk kekasihku yang sudah berlalu, bahagialah kalian. Jika ada di antara kalian yang masih menjerat cintaku, kembalikanlah. Aku sangat membutuhkannya. Toh, kalian juga sudah mendapatkan cinta kalian. Agar akupun bisa meregup kebahagiaan seperti yang kalian rasakan.