danau toba

danau toba
selalu ingin kesana

Kamis, 10 Maret 2011

Om Angga, dimanakah kini kau berada....

Dia bertanya, "Ko dibuang-buang?"
"Ada kadal" jawabku.
"Emang kenapa?" tanyanya lagi.
"Takut! Jijik juga!" jawabku.
"Yah... itu aja takut! Sini Om usir."
"Makasih Om..."


Dia tetangga baruku, tinggal di sebelah rumah. Sudah hampir sebulan dia tinggal disitu tapi kami belum pernah teguran, sekedar lempar senyum pun belum. Tapi siang itu, mungkin dia heran, ini anak kok buang-buang hanger (gantungan baju). Aku sedang berusaha mengusir seekor kadal yang ada di teras rumahku dengan melempar gantungan baju. Dan itulah awal perkenalan dan awal obrolan kami. Dia membahasakan dirinya Om, Om Angga! dan dia memanggil aku cukup dengan sebutan nama. Dia orang aceh, tinggi, hitam manis, ramah dan asyik. Sama seperti aku, cuma aku orang batak dan pendek.


Suatu sore Om Angga bakar sampah, dan aku sangat menyukai itu. (sampah bakar aja suka, apalagi ayam bakar! kebalik ya??). Cuma aku masih malu-malu untuk mendekat. Aku hanya melihat dari teras rumahku. Kayaknya dia tahu isi hatiku. Diapun memanggil, "kesini aja, ga usah malu-malu". Semenjak itu kami sering bakar-bakar sampah.


Om Angga punya celana pendek yang benar-benar pendek berwarna biru muda. Om Angga suka pakai celana itu, mungkin Om Angga cuma punya celana pendek  itu saja. Aku juga punya, warna hitam. Pendeknya pun sama. Aku juga suka pakai celana itu, tapi bukan berarti juga aku hanya punya celana itu saja. Awalnya aku malu sama Om Angga  kalau pakai celana itu. Tapi dia bilang "ga usah malu tika... nggak apa-apa. Om nggak bakalan jelalatan". Aku hanya senyum dan tentunya senang juga.


Om Angga suka menanam bunga. Halaman rumahnya yang tidak begitu luas ditanami berbagai macam bunga. Halaman rumahku pun begitu.  Kami sering bertukar tanaman bunga. Pokoknya, kalau aku punya Om Angga juga harus punya, begitu sebaliknya. Suatu hari aku diajak ke belakang rumahnya. Disitu ada kebun kecil yang ditanami singkong. Tapi aku nggak punya kebun dibelakang. Sangat kecil, cuma muat sepuluh batang pohon singkong. Tiba-tiba mataku terhenti di sebuah tanaman, aku langsung protes. "Om, kok aku nggak dibagi bunga yang itu?" "Maaf tika, Om cuma punya satu. Makanya Om tanam dibelakang, biar nggak dilihat sama kamu". Aku cemberut, dan dia berjanji akan mencarinya buat aku.


Banyak yang kami bicarakan, dari kampung halaman, pendidikan, kehidupan juga tentang politik. Termasuk GAM! Suatu waktu Om Angga bertanya, "kamu nggak takut sama Om?" "Kenapa harus takut Om?" aku balik bertanya. "Om kan orang aceh!" jawabnya. "Kita kan sama-sama manusia Om" jawabku. Dia juga mengajariku bagaimana cara mengangkat barbel agar kaki, tangan, juga bentuk badan bagus seperti badan  Om Angga!


Aku nggak tahu Om Angga kerja apa dan dimana. Aku pernah menanyakan itu, "ada ajah" itu jawab Om Angga. Suatu hari Om Angga berangkat kerja. Tapi sudah hampir dua minggu nggak pulang. Aku tanya temannya, temannya cuma jawab kalau Om Angga sedang banyak pekerjaan. Dan suatu pagi, aku melihat beberapa polisi mondar mandir di sekitar rumah. Tentu aku kaget! Ada apa? Pikiranku melayang sama Om Angga. Apa ada hubungannya? Dan benar! Polisi menghampiri aku dan bertanya tentang orang yang tinggal di rumah itu, yang tak lain adalah Om Angga dan teman-temannya yang kebetulan tidak ada dirumah. Sore harinya Om Angga pulang, aku senang dan tentu cemas juga. Sepertinya dia sudah tahu apa yang terjadi, dia bilang "Om nggak apa-apa tik.. kalau polisi itu datang lagi jawab saja apa yang kamu ketahui". "Oke deh Om!" jawabku dengan perasaan nggak enak. Dan Om Angga pun pergi lagi.


Suatu malam, jam sepuluhan. Pintu belakang diketok. Aku kaget! Malam-malam begini dan pintu belakang! Pikiranku masih dengan Om Angga. Dan benar juga! Pintu aku buka, dengan cepat dia pun melompat masuk lengkap dengan sepatunya. "Nggak usah nyalain lampu" katanya. "Maaf ya tik, Om udah nyusahin kamu, bikin kamu takut. Tapi percayalah, kamu aman dan tidak akan terlibat biarpun polisi-polisi itu datang lagi". Kami tidak bicara banyak. Kira-kira satu jam kemudian diapun pergi dan meminjam uang duapuluh ribu rupiah. "Percaya sama Om, Om akan datang dan akan mengembalikan uang ini. "Iya Om" dan dia pun pergi.


Berminggu-minggu, mungkin bulanan Om nggak pulang. Aku nggak berani bertanya banyak sama teman-temannya. Hanya iseng saja. "Om Angga belum pulang ya?" Basa-basi, padahal aku juga tahu dia nggak bakal pulang. Ternyata aku salah. "Mau dong!". Aku menengok ke arah datangnya suara itu, seperti suara Om Angga. Dan benar, dia tersenyum manis dari balik kaca rumah, kemudian berjalan kearah pintu dan aku pun menghampiri. Refleks! Kami berciuman, pipi kiri pipi kanan, ciuman buat 'seorang' Om Angga yang sangat berarti buat aku. "Om pergi lagi ya, ini uang kamu. Terimakasih banyak untuk semuanya, jangan bosan-bosan bantu siapa pun itu termasuk Om, pesan Om Angga yang ternyata adalah pesan terakhirnya. "Sama-sama Om!" jawabku. "Suapin.." Om Angga minta aku menyuapinya. "Om, bunga yang dibelakang udah ada belum?" tanyaku. "Belum! Ambil aja yang dibelakang, itu buat kamu!" "Benar Om? makasih!" aku sangat senang sekali. Dan Om Angga pun pergi dan nggak pernah pulang-pulang lagi. Tidak ada seorangpun yang tahu dimana keberadaan Om Angga.


Sekian lama berteman aku maupun Om Angga tidak pernah cium mencium, juga suap menyuap. Ternyata inilah acara perpisahan kami. Sepi tanpa Om Angga. Tidak ada lagi acara bakar-bakar sampah, acara berbagi bunga, merawat tanaman bercanda, berantem juga olahraga angkat barbel. Suatu hari aku mengajak teman Om Angga ke kebun belakangnya, mataku mencari-cari tanaman itu tak henti-hentinya. Tetapi tak kutemukan. "Tanaman apa?" tanya temannya. "Dulu disini, aku menunjukkan tempatnya. Tapi kok nggak ada", jawabku. Temannya diam dan akupun pulang. Om Angga bohong! Aku kecewa sekali.


Aku tidak pernah kenal ganja. Baik daunnya maupun batangnya. Aku hanya tahu kalau ganja itu 'sesuatu' yang ditambahkan ke sebuah rokok kemudian dihisap. Suatu waktu aku melihat tanaman ganja di televisi. Oo.. ini yang namanya ganja, ucapku dalam hati. Sepertinya aku pernah melihat tanaman ini, tapi dimana? Tiba-tiba pikiranku melayang ke kebun belakang rumah Om Angga. Tanaman itu persis dengan tanaman yang ada di televisi. Sesaat aku berpikir dalam hayalan, tanaman ini memang nggak pantas di halaman depan. Tanaman ini nggak pantas ditanam perempuan. Dan mungkin tanaman inilah yang membuat Om Angga nggak pulang-pulang lagi.


Om Angga... dimana kini kau berada? Aku rindu, rindu semuanya. Aku janji, kalau kita bertemu akan nggak bakalan minta bunga itu lagi. Yang penting Om Angga pulang dan kita bersenang-senang lagi seperti dulu. Om Angga pulang ya....???