danau toba

danau toba
selalu ingin kesana

Kamis, 10 November 2011

Beginikah rasanya????



                                        BEGINIKAH RASANYA??????


Enam tahun tanpamu.......

Berat menjalaninya. Mengangkat kepala saja aku tak sangup, apalagi bersenda-gurau. Berbicara pun lidahku kaku apalagi bernyanyi sambil memetik gitar benar-benar aku tak sangup. Oh.... beginikah rasanya????

Tahun pertama hidupku benar-benar hancur, tak berguna, tak berarti dan merasa di pandang sebelah mata. Kekuatanku rontok! Harga diriku entah kemana. Buatku dunia sudah berakhir. Tidak bergairah dan pasrah dengan keadaan. Aku tahu masih banyak yang menyayangiku, mencintaiku, membutuhkanku bahkan mengharapkanku. Buatku itu semua tidak ada artinya. Kau telah merubahnya. Bahkan ketika aku kehilangan pekerjaan pun itu tidak berarti apa-apa dan malah tidak berniat untuk bekerja lagi. Semua itu tidak ada artinya selain dirimu. Tidak ada penyesalan karena itu tidak sebanding dengan rasa yang kualami.
Suatu waktu, seseorang yang pernah mengasihiku datang menghiburku. Aku sangat berharap dia kembali  agar aku bisa menyenangkanmu. Tapi takdir berkata lain dia tetap berlalu tanpa mencari tahu apa yang kuinginkan. Ya, sudahlah..... dan akhirnya sampai sekarang pun aku tetap sendiri.
Diakhir tahun kuputuskan untuk mengunjungimu, kubawa sesuatu yang mungkin bisa membuatmu senang dan bisa membuat airmataku berhenti mengalir. Dengan sadar kusakiti hati dan jiwaku, dengan sadar kubuat kau seolah-olah ada. Kau memang ada disana, tapi tak kutemukan.  Ya Tuhan..... beginikah rasanya???

Tahun kedua tidak  jauh beda dengan tahun pertama. Malah semakin parah, selain rasa sakit yang kau buat aku harus menderita kemiskinan. Kuhabiskan waktuku di suatu tempat bersama dengan teman-teman yang senasib denganku. Kujalani hidupku dengan santai seolah-olah tak berbeban. Pasrah, tidak peduli dengan keadaan sekitar juga keadaanku sendiri. Kubuat aku tegar seperti batu karang padahal kenyataannya hancur berkeping-keping. Tidak ada yang tahu kesedihanku seolah tak berujung.

Tahun ketiga rasa itu masih ada, kupikir sudah saatnya membenahi diri. Dengan susah payah aku bangkit dan masih tetap ditemani sakit akibat kehilanganmu. Pertengahan tahun aku mengunjungimu. Kali ini bukan hanya kau tujuanku. Adikku menikah dan aku harus hadir sebagi tanda tanggungjawab dan keiklasanku. Prosessi demi prosessi kuikuti dengan rasa bahagia dan linangan airmata. Semua undangan yang melihatku menganggap airmataku adalah airmata kesedihan akibat dilangkah nikah. Tak ada satupun yang tahu airmata itu adalah airmata karenamu, airmata kehilanganmu, airmata karena ketidakberadaanmu. Lagi-lagi aku berucap, beginikah rasanya???

Tahun keempat mencoba menganggat kepala dan mengembalikan kepercayaan diri. Mencoba berdamai dengan hati, berdamai denganmu dan berhenti mengutuki keadaan. Bernyanyi dan bersenda gurau menghiasi hari-hariku. Airmata hanya sesekali itupun jika rasa itu mengusikku dan jika bayanganmu tiba-tiba hadir. Berjanji tidak akan menangisimu lagi sebelum aku tidur karena itu membuat penglihatanku berkurang. Inikah akibatnya kehilangamu???

Tahun kelima keadaanku membaik. Kehidupanku semakin terkontrol. Kehilanganmu membuat aku dewasa, membuat aku semakin menghargai indahnya kebersamaan, mahalnya kesehatan dan menjaga nafas yang masih dipercayakan. Kehilanganmu membuatku semakin menghargai sesama terlebih yang sudah tua dan bisa berbagi dengan orang yang senasib denganku. Tapi, jangan pernah kau berpikir bahwa rasa kehilangan yang kau buat bisa terkisis dan melupakanmu. Seumur hidupku kau selalu ada walaupun kau jauh.
Saat ini aku masih tetap sendiri, bukannya memilih-milih. Tapi aku menginginkan sosok sepertimu yang bisa menjagaku, menghargaiku dan menghiburku. Walaupun aku sadar kau tak akan tergantikan oleh apa dan siapapun. Tapi aku mau dirirmu ada dalam dirinya agar aku bisa merasakan hadirmu dalam hidupku.

Hari ini, tahun keenam. Aku merasa tidak ada gunanya memelihara kesedihan karenamu. Tidak ada gunanya menyesali kepergianmu dan tidak perlu lagi menangis apalagi meratap. Setitik airmata cukup mewakili disetiap kali kau teringat dan terbayang juga karena aku belum mau memakai kacamata. Kepergianmu membuat aku berhenti memberikan apa saja yang kau butuhkan dan aku juga tidak perlu lagi membelikanmu apa-apa. Kau tidak akan mendapatkan lagi kaus berkerah, baju hangat tebal, kemeja kotak-kotak, celana pendek keren, celana jean's juga sandal dan sepatu. Kau tidak akan bergaya lagi di depanku.
Tapi aku bisa menjanjikan kau akan tetap mendapatkan cintaku, kasih sayangku, juga ingatanku. Aku berjanji tidak akan melupakanmu karena kau sangat berharga. Ini baru tahun keenam. Akan masih banyak tahun-tahun yang akan kulewati tanpamu. Cintamu, kasih sayangmu dan pengorbananmu akan menguatkan aku melewatinya. Bahagialah kau, dan akupun berharap seperti itu. Maafkan semua kesalahan dan kekuranganku. Mintalah pada Tuhan agar hidupku lebih indah dan secepatnya  mendapat jodoh.
I miss you mordong... I love you so much!!!!












Kamis, 07 Juli 2011

KEKASIH HATI PUJAAN BANGSA

"Isei tulang?"
"Borukku"
"Bah, nga balga balga hape boruni tulang?"
"Nungga, si nomor dua nama i"
"Di au mai tulang"
"Jolo balga ma da"
"Olo tulang, dang saonari"


"Nga kalas piga ho pariban?"
"Kalas lima"
"Olo do ho diau?"
"Daong, ho pe nga balga au tagelleng dope"
"Paimaonku doho"

"Horeee.... lulus!!!!!!!!"
Belum ada rencana apa-apa setelah aku lulus, untuk kuliah buat aku sesuatu yang tidak mungkin karena alasan ekonomi. Kerja? Ah, paling di medan dan bekerja di pabrik-pabrik. Dan, lupakanlah itu dulu. Nikmati saja pengangguran ini.

Suatu kali kekasihku pun menanyakan hal itu, mau kemana dan bagaimana. Dan jawabku pun masih sama. "Bukankah kau mau ke jakarta, kan saudaramu banyak disana dan kakakmu pun?"
"Nggaklah, terlalu cepat memikirkan merantau, tenang saja. Aku tidak akan meninggalkanmu secepat itu"
"Benar, janji?"
"Benar, janji!!!"

Selang beberapa hari, nantulangku datang dari Bandung. Ditengah-tengah melepas rindu nantulangku mengajakku ikut dia. "Marhua ho dison, annon disuru ho muli. Tu na mabalu muse".Tanpa pikir panjang aku meng'iya'kan. Walaupun saat itu bapakku tercinta sulit melepasku. (Pak, seandainya aku mendengarmu, masih selalu terbayang saat aku pamit kau langsung pergi ke belakang dan aku yakin kau pasti menitikkan airmata). Dan aku pun pergi diantara isak adik-adikku dan mengingkari janjiku kepada kekasihku. Berharap mendapat sesuatu yang bisa merubah hidup, atau jangan-jangan hanya memperpanjang episode pahitnya kehidupan.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun pun berlalu, begitupun dengan kekasih hati. Tahun ketiga aku pulang, sudah rindu dengan semuanya. Kenyataannya, aku bukan perantau sukses. Aku pulang hanya sebatas melepas rindu dan sedikit oleh-oleh. Aku berharap bertemu dengan kekasihku, tapi tak kunjung juga. Malam itu, diantara canda tawa antara aku dan adik-adikku kekasihku datang. Senang sekali rasanya, ingin memeluk tapi malu. Bercerita panjang lebar tentang badai kehidupan, di tengah rindu-rinduan dia selipkan keinginan untuk tetap bersamaku.

"Terserah kau, aku ikut kau atau kau ikut aku. Kalau kau ikut aku, aku bisa mencarikanmu pekerjaan dan aku bertanggungjawab atas kebutuhan dan tempat tinggalmu. Kalau aku yang ikut kau, kau cukup menyediakan tempat sementara, sampai aku menemukan pekerjaan, kau tidak usah membiayai aku".
Itu pilihan mematikan buat aku.
"Nggak boleh begitu, kalau kau mau ke sana datang saja sendiri. Dan jika kau sudah sampai, datang saja ke rumah, dan aku akan memperlakukanmu sebagaimana kekasih. Kalau aku tinggal bersamamu, itu tidak baik".

Harinya pun tiba, aku akan meninggalkan mereka semua, lagi. Sesungguhnya aku sudah tidak menginginkan ini. Kekasihku pun masih memohon untuk tinggal, tapi kuabaikan. "Kalau kita jodoh, kita akan bertemu".

Kembali berkecimpung dengan dunia yang tidak kuharapkan ini, tapi apa boleh buat. Kekasihku tak kunjung datang malah berita menyakitkan yang kuterima. Dia menikah!! Seandainya aku tinggal, mungkinkah itu tidak akan terjadi? Entahlah...

Aku kepincut pada seorang lelaki. Baik, ramah, sopan dan bekerja. Kami pun menjalin asmara, serius! Mungkin, karena dia sudah cinta mati dan takut kehilangan aku, dia mengajakku menikah. "Apa??? Oo... tidak bisa! Aku masih muda dan belum mau menikah. Kami bubar dan diapun menikah. Ternyata dia bukannya cinta mati apalagi takut kehilangan, sepertinya dia sudah tidak tahan hidup sendiri dan diapun menikah.

Kembali menjalani hidup, melewati hari-hari, bulan dan tahun. Banyak yang datang, banyak juga yang pergi.  Ada saatnya aku berada dipuncak kebahagiaan dan ada saatnya jatuh terpuruk. Untuk mengangkat kepala saja tidak sanggup. Semua itu bisa kulewati, keteguhan hati, kepercayan diri, pertolongan Tuhan yang membuat aku kuat. Tidak ada yang muluk-muluk dalam kehidupanku. Aku bukan pekerja keras, tidak ambisius. Tapi bukan pemalas dan tidak pesimis. Hidup penuh liku-liku. Tidak usah penyesalan tapi perlu melihat ke belakang. Nasib orang berbeda-beda namun banyak yang sama. Boleh berusaha merubah hidup namun tak satu pun bisa merubah takdir.

Tapi saat ini, ijinkan aku untuk menyesal, meratapi nasib dan mencoba menyalahkan takdir.  Ijinkan aku untuk berada di titik kelemahan, di titik ketidakberdayaan dan mungkin mencoba menyalahkan Tuhan. Tapi bukan berarti aku pasrah atau pun menyerah. Apalagi untuk meninggalkan Tuhan dan hidup tanpa arah.

Empat hari yang lalu, aku berulang tahun. Inilah umur terakhir penantianku untuk menikah, tapi tak kunjung tiba. Aku mencoba menyalahkan, tapi siapa yang harus disalahkan. Aku, dia, nasib, takdir atau Tuhan!! Perjalanan hidupku biasa-biasa saja. Belum ada tindakan abnormal. Percintaanku pun biasa2 saja, tidak ada kekasih yang kutinggalkan dengan cara berlebihan. Putus  dan berganti kekasih itu hal biasa. Apalagi meninggalkan kekasih di altar pernikahan, sesuatu yang tidak mungkin. Memikirkannya pun tidak. Dan anganku pun memaksaku untuk melayang ke setiap masa dan kisah.

"Kau sudah lulus, sudah berumur 17 tahun dan artinya kau sudah dewasa. Sekarang aku memintamu untuk menikah dengan aku. Tujuh tahun aku menantimu dan membebaskanmu untuk menghabiskan masa pacaranmu. Selama tujuh tahun aku tidak mengutikmu, bahkan berpacaran di depan mataku pun kau ku biarkan. Karena aku tahu kau sudah milikku. Perbincangan kita, perbicangan antara aku dan tulang tujuh tahun yang lalu itu bukan basa basi, itu serius. Tak usah kau berpikiran untuk kuliah apalagi untuk merantau. Persiapkanlah dirimu untuk menikah". Aku berusaha menolak dengan halus tapi sepertinya dia memaksaku dan berani berbuat apapun karena dia akan dan pasti bertanggungjawab.

Inilah yang kuhindari, inilah alasanku, kenapa aku dengan senang hati menuruti ajakan nantulangku ke Bandung. Kenapa aku mengingkari janjiku dengan kekasihku, kenapa aku tidak memperpanjang masa pengangguranku di kampung dan kenapa juga aku tidak mendengarkan larangan bapakku untuk tetap tinggal. Tidak ada yang tahu itu, tidak ada yang mengerti itu karena hanya aku dan Tuhan yang tahu. Inilah yang kusesali, inilah yang kusalahkan. Aku pergi meninggalkan ajakan pernikahan. Aku pergi menghindari ajakan pernikahan. Inilah yang selalu terbayang dalam anganku.

Tuhan, apakah aku salah? Salah apa? Apa aku tidak berhak memilih jalan hidupku?
Apa ini karma, karma siapa? Aku? Apa aku pantas menerima karma atas kesalahan yang tidak kuperbuat?
Tuhan, hanya kau yang tahu. Jika aku menyalahkanMu, aku berdosa dan murtad.  Jika aku menyalahkanku, aku hanya mengikuti jalan hidupku. Jika aku menyalahkan dia, dia juga berhak meminta perempuan untuk istrinya.
Tapi, aku masih menunggu keajaibanMu. Karena kembali, aku hanya dan tetap percaya padaMu. Apapun yang terjadi dan akan itu semua kehendakMu. Apapun yang kulakukan dan akan itu semua atas sepengetahuanMu. Sekali lagi, aku percaya dan menanti keajaibanMu. Ampuni aku jika sesekali menggerutu dan putus asa. Dan selalu ingatkan aku apapun bisa terjadi dan ke siapa pun.

Kekasih hatiku pujaan bangsa, siapapun kau, dimana pun kau ingatlah akan diriku. Tidak ada gunanya kau mengulur-ulur waktu. Akan banyak hal yang akan kita lakukan dan aku takut waktu kita tidak cukup. Jadi, bergegaslah, tak usah kau membawa banyak-banyak. Bawalah imanmu, itu cukup untukku asal kau bisa mempertanggung-jawabkan nilai-nilai dari imanmu itu.


Untuk kekasihku yang sudah berlalu, bahagialah kalian. Jika ada di antara kalian yang masih menjerat cintaku, kembalikanlah. Aku sangat membutuhkannya. Toh, kalian juga sudah mendapatkan cinta kalian. Agar akupun bisa meregup kebahagiaan seperti yang kalian rasakan.

Kamis, 10 Maret 2011

Om Angga, dimanakah kini kau berada....

Dia bertanya, "Ko dibuang-buang?"
"Ada kadal" jawabku.
"Emang kenapa?" tanyanya lagi.
"Takut! Jijik juga!" jawabku.
"Yah... itu aja takut! Sini Om usir."
"Makasih Om..."


Dia tetangga baruku, tinggal di sebelah rumah. Sudah hampir sebulan dia tinggal disitu tapi kami belum pernah teguran, sekedar lempar senyum pun belum. Tapi siang itu, mungkin dia heran, ini anak kok buang-buang hanger (gantungan baju). Aku sedang berusaha mengusir seekor kadal yang ada di teras rumahku dengan melempar gantungan baju. Dan itulah awal perkenalan dan awal obrolan kami. Dia membahasakan dirinya Om, Om Angga! dan dia memanggil aku cukup dengan sebutan nama. Dia orang aceh, tinggi, hitam manis, ramah dan asyik. Sama seperti aku, cuma aku orang batak dan pendek.


Suatu sore Om Angga bakar sampah, dan aku sangat menyukai itu. (sampah bakar aja suka, apalagi ayam bakar! kebalik ya??). Cuma aku masih malu-malu untuk mendekat. Aku hanya melihat dari teras rumahku. Kayaknya dia tahu isi hatiku. Diapun memanggil, "kesini aja, ga usah malu-malu". Semenjak itu kami sering bakar-bakar sampah.


Om Angga punya celana pendek yang benar-benar pendek berwarna biru muda. Om Angga suka pakai celana itu, mungkin Om Angga cuma punya celana pendek  itu saja. Aku juga punya, warna hitam. Pendeknya pun sama. Aku juga suka pakai celana itu, tapi bukan berarti juga aku hanya punya celana itu saja. Awalnya aku malu sama Om Angga  kalau pakai celana itu. Tapi dia bilang "ga usah malu tika... nggak apa-apa. Om nggak bakalan jelalatan". Aku hanya senyum dan tentunya senang juga.


Om Angga suka menanam bunga. Halaman rumahnya yang tidak begitu luas ditanami berbagai macam bunga. Halaman rumahku pun begitu.  Kami sering bertukar tanaman bunga. Pokoknya, kalau aku punya Om Angga juga harus punya, begitu sebaliknya. Suatu hari aku diajak ke belakang rumahnya. Disitu ada kebun kecil yang ditanami singkong. Tapi aku nggak punya kebun dibelakang. Sangat kecil, cuma muat sepuluh batang pohon singkong. Tiba-tiba mataku terhenti di sebuah tanaman, aku langsung protes. "Om, kok aku nggak dibagi bunga yang itu?" "Maaf tika, Om cuma punya satu. Makanya Om tanam dibelakang, biar nggak dilihat sama kamu". Aku cemberut, dan dia berjanji akan mencarinya buat aku.


Banyak yang kami bicarakan, dari kampung halaman, pendidikan, kehidupan juga tentang politik. Termasuk GAM! Suatu waktu Om Angga bertanya, "kamu nggak takut sama Om?" "Kenapa harus takut Om?" aku balik bertanya. "Om kan orang aceh!" jawabnya. "Kita kan sama-sama manusia Om" jawabku. Dia juga mengajariku bagaimana cara mengangkat barbel agar kaki, tangan, juga bentuk badan bagus seperti badan  Om Angga!


Aku nggak tahu Om Angga kerja apa dan dimana. Aku pernah menanyakan itu, "ada ajah" itu jawab Om Angga. Suatu hari Om Angga berangkat kerja. Tapi sudah hampir dua minggu nggak pulang. Aku tanya temannya, temannya cuma jawab kalau Om Angga sedang banyak pekerjaan. Dan suatu pagi, aku melihat beberapa polisi mondar mandir di sekitar rumah. Tentu aku kaget! Ada apa? Pikiranku melayang sama Om Angga. Apa ada hubungannya? Dan benar! Polisi menghampiri aku dan bertanya tentang orang yang tinggal di rumah itu, yang tak lain adalah Om Angga dan teman-temannya yang kebetulan tidak ada dirumah. Sore harinya Om Angga pulang, aku senang dan tentu cemas juga. Sepertinya dia sudah tahu apa yang terjadi, dia bilang "Om nggak apa-apa tik.. kalau polisi itu datang lagi jawab saja apa yang kamu ketahui". "Oke deh Om!" jawabku dengan perasaan nggak enak. Dan Om Angga pun pergi lagi.


Suatu malam, jam sepuluhan. Pintu belakang diketok. Aku kaget! Malam-malam begini dan pintu belakang! Pikiranku masih dengan Om Angga. Dan benar juga! Pintu aku buka, dengan cepat dia pun melompat masuk lengkap dengan sepatunya. "Nggak usah nyalain lampu" katanya. "Maaf ya tik, Om udah nyusahin kamu, bikin kamu takut. Tapi percayalah, kamu aman dan tidak akan terlibat biarpun polisi-polisi itu datang lagi". Kami tidak bicara banyak. Kira-kira satu jam kemudian diapun pergi dan meminjam uang duapuluh ribu rupiah. "Percaya sama Om, Om akan datang dan akan mengembalikan uang ini. "Iya Om" dan dia pun pergi.


Berminggu-minggu, mungkin bulanan Om nggak pulang. Aku nggak berani bertanya banyak sama teman-temannya. Hanya iseng saja. "Om Angga belum pulang ya?" Basa-basi, padahal aku juga tahu dia nggak bakal pulang. Ternyata aku salah. "Mau dong!". Aku menengok ke arah datangnya suara itu, seperti suara Om Angga. Dan benar, dia tersenyum manis dari balik kaca rumah, kemudian berjalan kearah pintu dan aku pun menghampiri. Refleks! Kami berciuman, pipi kiri pipi kanan, ciuman buat 'seorang' Om Angga yang sangat berarti buat aku. "Om pergi lagi ya, ini uang kamu. Terimakasih banyak untuk semuanya, jangan bosan-bosan bantu siapa pun itu termasuk Om, pesan Om Angga yang ternyata adalah pesan terakhirnya. "Sama-sama Om!" jawabku. "Suapin.." Om Angga minta aku menyuapinya. "Om, bunga yang dibelakang udah ada belum?" tanyaku. "Belum! Ambil aja yang dibelakang, itu buat kamu!" "Benar Om? makasih!" aku sangat senang sekali. Dan Om Angga pun pergi dan nggak pernah pulang-pulang lagi. Tidak ada seorangpun yang tahu dimana keberadaan Om Angga.


Sekian lama berteman aku maupun Om Angga tidak pernah cium mencium, juga suap menyuap. Ternyata inilah acara perpisahan kami. Sepi tanpa Om Angga. Tidak ada lagi acara bakar-bakar sampah, acara berbagi bunga, merawat tanaman bercanda, berantem juga olahraga angkat barbel. Suatu hari aku mengajak teman Om Angga ke kebun belakangnya, mataku mencari-cari tanaman itu tak henti-hentinya. Tetapi tak kutemukan. "Tanaman apa?" tanya temannya. "Dulu disini, aku menunjukkan tempatnya. Tapi kok nggak ada", jawabku. Temannya diam dan akupun pulang. Om Angga bohong! Aku kecewa sekali.


Aku tidak pernah kenal ganja. Baik daunnya maupun batangnya. Aku hanya tahu kalau ganja itu 'sesuatu' yang ditambahkan ke sebuah rokok kemudian dihisap. Suatu waktu aku melihat tanaman ganja di televisi. Oo.. ini yang namanya ganja, ucapku dalam hati. Sepertinya aku pernah melihat tanaman ini, tapi dimana? Tiba-tiba pikiranku melayang ke kebun belakang rumah Om Angga. Tanaman itu persis dengan tanaman yang ada di televisi. Sesaat aku berpikir dalam hayalan, tanaman ini memang nggak pantas di halaman depan. Tanaman ini nggak pantas ditanam perempuan. Dan mungkin tanaman inilah yang membuat Om Angga nggak pulang-pulang lagi.


Om Angga... dimana kini kau berada? Aku rindu, rindu semuanya. Aku janji, kalau kita bertemu akan nggak bakalan minta bunga itu lagi. Yang penting Om Angga pulang dan kita bersenang-senang lagi seperti dulu. Om Angga pulang ya....???

Senin, 31 Januari 2011

KAMPUNG HALAMAN

Sejenak terdiam. Teringat kampung halaman. Sosorpasir, sirait, nainggolan Samosir. Tempat aku dilahirkan dan dibesarkan oleh kedua orangtuaku. Masa kecil yang jauh dari kemewahan. Bermain tanpa modal, yang hanya ala kampung. Margala, marsendol, martulpe, marsitekka, marguli dan masih banyak lagi. Tidak ada boneka apalagi sepeda. Masa kecil yang jauh dari jajanan selayaknya anak-anak. Tidak ada taro, keripik kentang, coklat apalagi es krim dan jajanan lainnya. Tidak ada kolam renang yang lengkapi dengan perosotan, ban, baju renang, kacamata renang, dan penutup kepala. Kadang-kadang hanya dengan memakai batang pisang agar bisa ketengah. Beruntunglah jika nelayan meminjamkan sampannya untuk bisa ketengah. Mengayuh sampan tanpa mengenal lelah. Terus mengayuh sampai jauh, jauh sampai gejeja HKBP Sirait bisa terlihat baru berhenti kemudian tersenyum puas menikmati keindahan.. Berenang hanya dengan gaya suka-suka, tidak ada pengajar tidak ada teknik cuma modal bisa marlange dan berkejar-kejaran dengan ombak pantai. Setiap hari marlangei so mar na loja bersama teman-teman. 


Berangkat ke sekolah tanpa mengenal taman kanak-kanak. Tidak ada orangtua yang mengantar karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tidak akan terlihat segelas susu atau jus apalagi roti yang dilapisi seres, keju atau selai. Yang ada sepotong singkong rebus dan segelas air putih. Beruntunglah jika menemukan sarapan nasi yang walaupun lauknya hanya ikan asin goreng atau dibakar, segelas teh manis atau kopi. Tidak ada uang saku untuk jajan, tidak ada bontot untuk tempat bekal, apalagi mobil jemputan. Waktu istirahat cukup dihabiskan bermain dengan teman-teman.

Malam tiba, dan suasana sunyi seperti tak berpenghuni. Makan malam, kemudian belajar sebentar. Teman-teman menghampiri mengajak bermain menunggu kantuk tiba dan suasana pun hidup kembali. Kadang-kadang kami hanya ngobrol atau berbagi cerita membahas apa yang dialami seharian. Sambil bernyanyi, lagu apapun itu. Akan sangat senang sekali jika kakak atau abang kami bergabung bersama. Atau ke rumah tetangga yang mempunyai televisi, kami akan asyik menonton jika ada film yang menarik. Kami akan serius karena takut yang punya rumah mengusir kami jika kami berisik, sesekali kami hanya berbisik-bisik. Selesai menonton, kami akan membahas film itu seseru mungkin padahal kami menonton bersama-sama.


Masa remaja masih dengan keterbatasan. Kebutuhan-kebutuhan semakin bertambah tapi hanya memakai yang ada saja. Sesekali masih bermain dengan anak-anak. Susah melepaskan kebiasaan-kebiasaan saat masih kecil. Segala macam permainan masih ku ikuti yang walaupun sesekali kena marah sama orangtua. Sudah mulai memperhatikan laki-laki, menyukai diam-diam. Menceritakan ke teman-teman dan berakhir dengan ledekan-ledekan. Bukannya membantu mendekati malah mengolok-olok dan mempermalukan.

Sekolahku yang sekarang lumayan jauh, tapi masih tetap dengan berjalan kaki, yang membuat betis besar dan tak seorang pun laki-laki yang suka itu. Masih tanpa uang jajan apalagi bekal. Istirahat cuma ngobrol dengan teman, sesekali nongkrong dikantin kalau ada rejeki atau ditraktir sama teman. Hari senin adalah hari spesial, karena hari ini pasar besar. Apapun caranya hari itu harus punya uang. Kadang orangtua juga mengerti. Mereka akan memberikan uang jajan yang walaupun hanya cukup untuk makan mie gomak dan pisang goreng juga ongkos pulang naik angkutan umum. Sesekali nongkrong dikapal yang datang dari daerah lain yang berjualan di pasar. Tidak ada makanan dan minuman tapi mampu melepas kepenatan.


Pulang sekolah, berjalan secepat mungkin agar cepat sampai dirumah. Melepas dahaga dengan segelas air danau toba mentah, tanpa mengganti baju seragam cepat-cepat melahap sepiring nasi dengan lauk ikan asin bakar dan sekali lagi beruntunglah jika ikan asin goreng disambal dan juga lengkap dengan sayurnya. 
Pekerjaan sudah menunggu, kadang tidak akan menemukan orangtua dirumah. Mereka sudah berangkat ke ladang dan harus cepat-cepat menyusul. Beruntunglah aku karena orangtuaku lumayan pengertian. Jika suara kapal dari balige atau ajibata kedengaran itu artinya sudah jam lima stengah enam, mereka memperbolehkan pulang untuk membereskan pekerjaan di rumah. Memasak, membersihkan rumah juga membersihkan diri dengan belari setengah menit kemudian melepas penat dengan berenang di danau toba. Kelelahan dan kesedihan hari itu terbayar dengan berenang sepuas-puasnya.

Mulai berpacaran, pacaran ala kampung. Hanya bertemu mata saja senangnya luar biasa. Tidak ada mall atau bioskop tempat kencan. Tidak ada cafe untuk nongkrong apalagi restoran. Hanya tangga rumah yang selalu siap menampung kami atau teras eda kumen yang cuma berjarak tiga rumah dari rumahku. Beruntung juga karena di halaman rumahnya ada batu besar yang nyaman untuk duduk berduaan. Langit yang bertabur bintang menambah keromantisan  apalagi jika bermain gitar sambil bernyanyi. Hmmm... benar-benar romantis. Hingga kami lupa malam sudah semakin larut, biasanya mama akan menghampiri dan mengajakku pulang. Dengan sedikit malu dan berat hati aku pulang dan menunggu pertemuan berikutnya. 

Kadang kami pergi ketempat hiburan yang tentu ala kampung juga. Dari kecil ini adalah hiburan gratis yang menyenangkan tapi membutuhkan sedikit keberanian. Karena hanya di malam hari saja kami bisa kesana, di siang hari kami sibuk dengan pekerjaan yang tidak bisa kami tinggalkan. Beruntung jika tempatnya dekat dan tidak perlu melewati kuburan. Tapi itu jarang terjadi, karena dimana-mana ada kuburan. Gondang! Inilah hiburannya. 

Hiburan lainnya yang ditunggu adalah libur natal dan libur kenaikan kelas. Libur natal diisi dengan perayaan natal di gereja juga disekolah. Perayaan natal yang walaupun sederhana tidak mengurangi kegembiraan. Pohon natal yang dibuat dari batang pisang yang kemudian ditusuki dengan ranting pohon pinus, tempat lilin dari pelepah pisang dan dekorasi yang hanya dibuat dari kertas gaba-gaba dan daun muda pohon enau. Perayaan dilangsungkan di malam hari, siang harinya makan bersama yang kami sebut marjagal-jagal. Tidak ada kue mewah, hanya kembang loyang, roti bawang, rempeyek, sasagun dan kue kampung lainnya. Tidak ada sirup apalagi anggur yang ada teh manis kopi, tuak puncaknya bir jika ada perantau sukses yang ingat akan kampungnya. 

Libur naik kelas diisi dengan membantu orangtua ke ladang. Tak lupa kusempatkan untuk memancing didanau toba. Aku menemukan keasyikan tersendiri jika memancing, walaupun kadang-kadang aku di tertawakan bapak sama mama. Beruntunglah jika diajak jalan-jalan kerumah saudara yang ada didaerah lain, dan tentu akan bangga yang sangat luar biasa.
Malam hari anak-anak bermain sepuasnya dihalaman rumah bersama teman-teman. Tak jarang para orangtua juga ikut walau hanya sebagai penonton sambil mengobrol suka duka kehidupan. Akan sangat senang jika tulang Januari yang juga libur kuliah pulang dari medan dan menyempatkan bermain kerumah. Dia akan mengajarkan kami bermain gitar dan bernyanyi lagu-lagu baru. Dan kami akan menarik nafas kecewa jika ibunya datang menghampiri dan menyuruhnya pulang. Dia juga mengajak kami kerumahnya walaupun hanya sekedar ngobrol, makan mangga dan memancing. 


Semua liburan menyenangkan! Tapi masih ada liburan yang spesial, sangat berkesan, sangat menyedihkan dan tidak bisa dilupakan. Beberapa kali aku berlibur ke perkampungan yang ada di atas perbukitan Samosir. Melewati jalan setapak, berliku, terjal, jalanan curam dan tanjakan yang menguras tenaga. Perkampungan yang belum bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua sekalipun. Rumah bilik, rumah yang terpencil. Kekaguman anak-anak padahal aku bukan siapa-siapa. Keramah-tamahan yang luar biasa menyambut aku dan masih banyak lagi. Kepuasan yang luarbiasa, kelelahan tak ada apa-apanya jika melihat keindahan ini semua. 


Seperti biasa, selepas sekolah aku pergi meninggalkan itu semua. Mencari sesuatu yang mungkin merubah hidup agar lebih baik. Sesekali aku pulang, kembali ke kampungku. melepas rindu, menikmati indahnya Samosir dan danau tobanya. Bertemu dengan sanak saudara juga teman-teman yang masih tinggal disana.


Tersadar dari kenangan itu, timbul pertanyaan. Apakah itu tinggal kenangan? Apakah itu hanya masa lalu? Apakah itu hanya pijakan menuju masa depan? Apakah kembali hanya mengenang saja?


Dan... kemudian aku berhayal, suatu saat akan kembali ke rumahku, ke kampung halamanku, ketempat dimana aku di ciptakan, dimana aku di tempa, tano hatubuanku, hagodanganku, ketempat dimana jiwaku tertinggal. Selamat datang Samosir... selamat datang danau toba. Sambut aku dengan pesonamu, keindahanmu dan semua yang kusuka darimu. Aku akan datang...


Dan nyanyikanlah ini agar kesempurnaan dari keindahan jelas adanya....




Selasa, 25 Januari 2011

Bang... jangan datang dulu ya...

Jaman merubah gaya hidup. Salah satunya gaya pacaran.  Sebelumnya biasa-biasa saja. Gaya pacaran yang normal-normal jadi sorotan serius. 

Pernah ada teman bercerita. Sewaktu dia perjalanan pulang kerumah mertuanya dia bertemu dengan seorang gadis, gadis ini tidak percaya kalau dia sudah beristri. Saking jengkelnya dia memberikan nomor telepon rumah mertuanya dan berharap si cewek percaya, nyatanya tidak. Si cewek menghubungi dan yang mengangkat telepon si mertua. Hmmm... nekat! Tapi si cewek tidak malu malah mengajaknya janjian di hotel. 

Saya sering ngobrol dengan teman-teman. Lagi-lagi yang menarik untuk diobrolin adalah gaya pacaran. Tapi bukan berarti kita munafik. Kita juga pacaran kok! Tapi seolah-olah gaya kita gaya kuno, ngga keren, ketinggalan jaman. Kampungan. Iyakah????

Satu hal lagi yang saya nggak habis pikir, virginitas yang sepertinya sudah tidak ada harganya dan nggak penting. Terus terang saya bengong mendengar ini. Separah inikah??? Suatu kali seorang teman di kampung menelepon. Bercerita panjang lebar, tiba-tiba dia bertanya. "Lo masih virgin ga?" Saya jawab "maksud lo?". Akhirnya dia bercerita tentang beberapa pacarnya yang sudah tidak virgin. Dan kenapa dia menanyakan itu ke saya karena dia berpikir, orang dikampung saja sudah begini parah apalagi yang di kota. Dia berpesan, "jagalah itu, itu adalah harta lo yang paling berharga". Dan kenapa juga dia belum menikah karena dia belum mendapakan cewek virgin dan dia merasa berhak untuk mendapat itu.

Di tempat saya tinggal, tidak jarang teman perempuan membawa pacarnya nginap di kamarnya. Awalnya sesekali, lama-lama jadi keseringan. Akibatnya adalah MBA, dan memilih pulang kampung karena memang belum siap untuk berkeluarga. Ada juga yang ditinggal yang berakibat stres berkepanjangan. Macam-macamlah.

Baru-baru ini saya ngobrol-ngobrol dengan seorang ibu yang datang dari kampung menengok cucunya yang baru lahir. Mungkin dia merasa nggak nyaman karena kelahiran cucunya lahir lebih cepat dari waktunya. "Sepertinya sebelum mereka nikah menantu saya sudah isi, tapi nggak apa-apalah, asal cuma anak saya saja, tidak ada lelaki lain"   Ha????

Sebenarnya saya tidak mau ambil pusing dengan semua itu, hidup ini masing-masing yang menjalani. Apa dan bagaimana itu terserah orangnya. Apalagi saya seorang perempuan yang masih sendiri. Yang katanya pamali ngomongin orang. Cuma saya suka bingung, inikah gambaran orang batak yang notabene sopan, terpelajar, boru dan anak ni raja yang terkenal kuat dengan agama dan adat istiadat? 

Satu lagi yang membuat saya tidak berhenti tertawa geli dan nggak habis pikir, seorang tetangga menelepon pacarnya dan berkata "Bang, jangan datang dulu ya... saya lagi mens"
Hmmmm!!!!!!!?????

Senin, 10 Januari 2011

KIRI BANG....

Mereka berkelompok. Satu kelompok 4-5 orang. Mereka seolah-olah tidak kenal satu sama lain. Satu-dua orang naik duluan, kira-kira seratus meter kemudian temannya naik lagi, dan begitu seterusnya. Sopirnya bisa saja adalah kelompok mereka, dan perempuan pun sudah ada juga yang ikut dengan mereka. Biasanya mereka tidak mau duduk berdekatan, selalu mengusahakan duduk diselingi penumpang yang lain. Yang satu pura-pura sakit, yang lainnya menolong. Grasak-grusuk dan mereka pun beraksi. Berhasil!!!!

Pagi tadi aku ke cibinong naik angkot. Didalam angkot ada dua penumpang, satu laki-laki berumur 30 tahunan duduk di bangku yang isinya enam orang. Satu lagi perempuan muda berjilbab duduk di bangku yang isi empat orang dan aku duduk di sebelah kirinya. 


Kira-kira 200 meter persisnya di anggada, naik satu orang laki-laki berumur tigapuluhan. Matanya sedikit agak besar dan pandangannya sayu. Kata orang mata ganjaan dan duduk di pojok disebelah kanan laki-laki yang tadi sudah didalam. Angkot belum bergerak, naik lagi,seorang laki-laki yang lebih tua dari yang barusan masuk.  Aku bergeser dekat pintu agar sibapak itu duduk didalam. Tapi dia nggak mau malah duduk dekat pintu. Sibapak ini batuk-batuk dan sesekali buang ludah. Matanya jelalatan dan aku paling benci melihat mata seperti itu. Sedikit demi sedikit dia bergeser. Yang tadinya ada jarak dari aku sekarang malah jadi nempel, bahkan dengan perempuan disebelahku dan sering juga curi-curi pandang ke si bapak yang kedua.


Kiri... kata sibapak yang kedua. Mobil berhenti. "Ini ramayana ya?" dia bertanya. Aku dan perempuan yang satu lagi menjawab "bukan, ramayana masih jauh". Memang masih jauh... ini masih di PLN. Mobil bergerak kembali. Aku curiga. Aku tidak membawa tas, hanya dompet berisi handphone dan duit yang akan kubelanjakan di cibinong. Mata mereka sering hinggap di dompet ku itu. Jika orang-orang ini benar-benar copet dan aku bernasib sial, mampuslah aku. Aku tidak mencurigai penumpang yang sudah ada di angkot sebelum aku naik. Tapi bisa saja mereka memang sekelompok.


200 meter kemudian angkot berhenti, seorang laki-laki umur tigapuluhan naik dan membawa tas kantor.  Matanya jelalatan. Duduk di antara laki-laki yang di bangku isi enam. Kecurigaanku pun bertambah, dan aku deg-degkan. Mobil belum bergerak... KIRI  BANG!!!!!!!


Sebenarnya aku berharap mereka adalah orang biasa sama seperti aku. Dan meskipun aku memutuskan untuk turun sebelum sampai, aku hanya menghindari sesuatu yang tidak kuinginkan. Aku hanya mengikuti kata hatiku dan menjauh dari orang-orang yang mencurigakan. Mereka benar-benar persis dengan ciri-ciri sekelompok pencopet. 

Jika mereka memang sekelompok pencopet, apa mereka berhasil? Siapa yang jadi korbannya? Sejujurnya aku ingin mereka tidak mendapat apa-apa. Biar mereka kesal dan akhirnya jera.