danau toba

danau toba
selalu ingin kesana

Sabtu, 27 November 2010

Tona Ni Tao - Simphony Yang Indah




Tongam Sirait, musisi batak yang hebat. Karya seninya termasuk unik dan syair lagunya jujur, mudah dicerna dan selalu meninggalkan pesan positif. Walaupun saya agak terlambat mengenalnya tapi bukan berarti saya tidak mengaguminya. Awalnya, lagunya sering dinyanyikan oleh sepupu2 saya, dan saya tertarik. "Siapa penyanyinya?" "Tongam Sirait"
Musisi yang stay di parapat tapi sering tampil di beberapa kota. Saya kurang tahu apa dia sudah ke mancanegara juga. (mudah2an). Akhirnya saya rajin menghapal lagu-lagunya dan berusaha menyanyikan dengan main gitar. Tapi tak gampang, accord2 yang dipakai amat sangat susah dan gejrengan yang juga tak kalah rumit. Dan memang itulah keunikannya.


Tona ni tao...
Sebuah lagu yang baru saya dengar, dan saya masih mempelajarinya. Pesan yang disampaikan sangat sederhana, jujur, dalam dan to the point. Semoga bisa mengugah hati pendengarnya, termasuk saya. Terlahir disamosir dan dibesarkan disana., tentu keseharian saya tidak luput dari tao tersebut. Marlangei so marna loja, (seperti syair lagu Tongam Sirait), marsolu, mangkail, marmeami dll tak ada bosan2nya. Kecintaan saya terhadap tao hanya 'bisa' saya tunjukkan dengan datang kesana, mengulangi semua itu. Menghabiskan waktu di tao tidak ada ruginya, saya tidak takut dengan hawa yang membuat kulit saya gosong. Saya tidak takut ombaknya karena itu adalah keindahan. Tidak takut berenang karena dia bersahabat. Yang saya takutkan adalah tao yang semakin surut, yang menurut berita itu adalah imbas penebangan/penggudulan hutan yang dengan sepengetahuan pemerintah. Saya juga takut tao yang semakin hari semakin kehabisan ikan. Semasa kecil banyak sekali udang, amburisak(ikan2 kecil) mujahir, lele, pora2, ikan mas, gabus(haruting). Sekarang... nyaris punah, sulit menemukannya. Beberapa tahun terakhir terdapat pora2 yang menjadi satu kekayaan baru buat penduduk disana. Kenyataannya, itu juga punah akibat ulah 'beberapa orang' yang tidak bertanggung jawab. Dan maraknya kerambah2 yang tidak jelas, yang mengotori tao tersebut.


Sesungguhnya keindahan masih ada, masih tersimpan. Tona ni tao by Tongam Sirait sudah berpesan.

TONA NI TAO...
Nungga leleng au dison.. mandohoti pardalani portibion
alai dang muba najolo tu sadarion songonon dope..
tongtong do au dison, sonang do au dison...


Aha na hurang be nian.. aha sileanonki unang arsaki au...
tongtong do au dison, sonang do au dison..


Pangidoanki, asi ni roham.. Debata....


Tuhan, sahat diho do au, patudu dalani
tu akka nabisuki...
dongan, sai tangihon au, sai haholongi au
rap do hita di portibion..


Dakdanak namarlangei di aek na tio i, ido tonaki..
naposo namartumbai, dihuta namartuai, ido podaki..
tongtong do au dison. sonang do au dison...



Once Mekel, musisi (penyanyi) yang sangat dikagumi banyak orang. Siapa yang tidak mengenalnya... Cakep, suaranya indah dan jauh dari gosip. Aku mengenalnya lewat Dewa band, vocalis yang mampu menghipnotis lebih dari jutaan orang termasuk aku.  

Simphony Yang Indah...
Sebuah lagu yang unik juga. Once menyapa kita lagi dengan lagu indah ini. Lagu ini memang bukan dia yang memperkenalkan ke dunia musik. Namun dinyanyikannya kembali membuat generasi sekarang menjadi tahu dan bahkan menyukainya, terlepas dari siapa penyanyinya. Dan lirik lagu ini memang indah, puitis dan romantis. Cocok untuk pasangan yang memulai hidup baru atau yang baru jadian. Tapi nggak juga, tergantung keadaan dan kebutuhan. Yang pasti keindahan, seperti judulnya simphony yang indah. Mudah2an pesan dari lagu ini tinggal di hidup kita masing2. Keindahan hidup, kebahagiaan hidup, semuanya.


SIMPHONY YANG INDAH....
Alun sebuah simphony, kata hati disadari..
merasuk sukma kalbuku, dalam hati ada satu
manis lembut bisikanmu, merdu lirih suaramu
bagai pelita hidupku...


Berkilauan bintang malam, semilir angin pun sejuk
seakan hidup mendatang, dapat kutempuh denganmu
berpadunya dua insan, simphony dan keindahan
melahirkan kedamaian, melahirkan kedamaian


Syair dan melodi, kau bagai aroma penghapus pilu
gelora dihati, bak mentari kau sejukkan hatiku...


Burung2pun bernyanyi, bungapun tersenyum
melihat kau hibur hatiku...
hatiku mekar kembali, terhibur simphony
pasti hidupku kan bahagia...

Rabu, 17 November 2010

emang iya????

            
             semua itu atas seijin Tuhan...
             apa, kapan, dimana, bagaimana hanya Dia yang tahu...
             manusia hanya bisa memohon dan mensyukuri




Hidup ini tidak bisa terlepas dari bayang-bayang masa lalu. Juga mimpi-mimpi dan mitos-mitos yang kadang-kadang menurut sebagian orang nggak penting. Ada benarnya juga, persetan dengan itu semua. Jalani saja hidup ini apa adanya. Tapi jika sedang mengalami sesuatu yang ada hubungannya dengan itu semua mau nggak mau suka atau tidak pasti percaya yang walaupun berpikir dua kali.


"Kalau makan jangan berdiri! oppungku selalu bilang begitu jika dia melihat aku atau siapa saja dari antara kami cucunya yang makan sambil berdiri. Nasinya turun sampai ke kaki, betisnya jadi besar", katanya. Padahal dengan berjalan sejauh kurang lebih 3 km setiap hari sudah cukup membuat betisku besar.


Perempuan yang 'pintar' main gitar jodohnya akan jauh. Banyak juga yang percaya itu, tapi bukan berarti perempuan jadi berhenti belajar dan bermain gitar. Buktinya, sekarang banyak sekali perempuan yang jadi gitaris handal.




"Jangan suka nyirih!"  Oppungku juga melarang jika sirihnya dimakan. Nanti dapat duda, padahal biar nggak habis itu sirih. Dasar nenek-nenek pelit!
Jika memiliki tahi lalat di sekitar hidung, hidupnya tidak beruntung. Banyak lagi, dan memang masih banyak.


Adalagi, dulu waktu aku masih kecil kira-kira umur sembilan tahun. Aku suka membanding-bandingkan jempol tangan kiri dan kanan, ingin tahu lebih besar yang mana. Hasilnya jempol kanan yang lebih besar. Ada seorang nenek, tinggal disebelah rumah. Nenek ini sudah tua sekali dan matanya juga sudah rabun dan nyaris buta. Aku bertanya sama nenek ini, "Oppung, kenapa jempol tangan kanan aku lebih besar daripada jempol tangan kiri? Si oppung menjawab " itu artinya nanti kamu akan kaya raya". Wow! Aku senang sekali pastinya dan berhayal tingkat tinggi.


Sekarang aku sudah dewasa (tua kalee), terkadang kalau sendirian aku sering mengingat-ingat itu. Mungkin benar, karena sering makan sambil berdiri betisku memang agak besar. Aku juga bisa main gitar, apa gara-gara itu juga aku belum menikah diusia yang sudah sangat cukup?


Dan semasa kecil aku juga suka nyirih, sampai-sampai pernah dibuatkan oleh ibuku tempat khusus buat aku. Apa aku juga akan kebagian duda? Nggak apa-apa sih... duda bersyarat!
Seingatku, aku tidak memiliki tahi lalat di sekitar hidung. Beberapa tahun terakhir di sekitar hidungku tumbuh tahi lalat. Apa itu juga yang membuat aku tidak seberuntung orang-orang? Entahlah....


Okelah, untuk kali ini aku percaya itu ada hubungannya. Tapi yang membuat aku bingung, kenapa juga aku belum kaya raya seperti yang dikatakan oleh nenek itu? Jangankan kaya raya, hidup pun masih jauh dari layak.

Sabtu, 13 November 2010

Ditakko ho ma rohaki...

Simalolongku do marnida ho
alai rohaku sai holsoan..
dibahen ekkel supingmi ito
manusuk tu pusu-pusuki
tikki na parjolo pajumpang dohot ho
sai maila-ila ho tu au...


Jari-jariku do manjalang ho
alai tarottok akka bukbak
ala lambok ni soaram ito
mangullus tu sipareonki
sanga tarhatotong hupanotnoti ho
tung sonang pakkilalaanki ito...

Ima mulana sai huingot ho
mambaen masihol au tu ho...o..o..

ditakko ho ma rohaki ito
dibuat ho nang holongki
ditakko ho ma rohaki ito...
gabe laos tading do di ho.... 

Rabu, 10 November 2010

Lima tahun telah berlalu...



Lima tahun telah berlalu, entah kenapa semua itu masih segar dalam ingatan. Perasaan baru kemarin sore. Dan rasa tidak percaya itu masih terpelihara, entah kenapa. Rasa kehilangan, rasa sedih, sesal masih juga tersimpan, entah kenapa juga. Memang, kau telah pergi, tapi kau tetap disini, disini, dihatiku... selamanya!


11 november 2005..
Semua berjalan seperti biasa.
Pagi itu aku berangkat kerja, bekerja seperti biasanya. Entah kenapa hari itu aku dengan teman yang duduk disebelahku ngobrol terus. Dan topik pembicaraan kami seputar bapak yang kebetulan sedang sakit di kampung. Seusai jam kerja aku ke base camp berkumpul dengan teman-teman karena besok kami akan mengadakan suatu acara. Kira-kira jam tujuh kami bubar, bersama tiga teman aku akan memesan makanan untuk acara besok. Di angkot aku bertemu dengan salah satu supervisor di tempat aku bekerja. "Kalau nggak salah tadi adikmu telepon ke kantor, ada saudara atau bapak yang sakit dikampung" kataya. "Oh.. bapakku memang sedang sakit", jawabku. Apa bapak sudah tidak ada? pikirku. Segera kubuang jauh-jauh pikiran itu. Aku dengan ketiga temanku sampai di tempat pemesanan makanan yang tidak jauh dari rumahku.  Kami berembuk, pulang dulu kerumah. Ketiga temanku seperti membaca apa yang kupikirkan. "Kalau adikku tidak ada dirumah, berarti dia di rumah kakakku yang tidak jauh dari rumah, dan artinya itu benar", kataku. Dan kami pun sampai dirumah, rumah kosong, kulihat dari kaca jendela ada beberapa tas berantakan. Semakin menyakinkan kalau dugaanku benar. Kami pun memutuskan kerumah kakakku. Sampai disana adikku, kakakku dan suaminya sedang menghitung uang yang entah darimana mereka kumpulkan, sambil berlinangan airmata. Aku tidak perlu bertanya apa yang terjadi karena sudah jelas semuanya. "Oppung mordong meninggal, kata joujo anak kakakku".  Ketiga temanku langsung memelukku dan mengucapkan bela sungkawa mereka. Aku tidak menangis, bukan berarti tidak sedih. Kalau aku menangis, aku tidak bisa mengontrol emosiku, aku akan panik padahal masih banyak harus di persiapkan terutama keuangan. Aku hanya menanyakan adikku manatar, dan kata mereka manatar sekarang ada di tebet dan sebentar lagi akan sampai.

Berembuk dengan keluarga, kami semua anak-anak bapak harus pulang dan memang harus! Kami ada tujuh orang berikut joujo dan bona cucu bapak. Dan sepertinya kami masih kekurangan uang. Aku mencoba menelepon personalia agar dapat pinjaman dan dia pun menyetujui. Urusan pinjaman itu kuserahkan ke salah satu temanku berikut dengan urusan cuti. Keluarga dari bapak berembuk dan hanya bapauda parung yang pulang, berangkat bersama inanguda mersi yang kebetulan disini. Tulang dan nantulang taman mini akan pulang berangkat bersama-sama dengan kami dan akan bertemu di bandara besok pagi. Untuk urusan tiket itu tanggungjawab tulang taman mini. Tidak lama kemudian adikku yang laki-laki tiba dirumah di antar sepupuku kuncong. Dia menangis dan tidak mau masuk, aku menghampiri dan memeluknya. "Aku dari tadi belum nangis, jangan sampai aku ikut nangis juga", kataku.
Kami menyiapkan segala sesuatu yang kami butuhkan, dan ketiga temanku pun pulang. Tidak lupa aku mengucapkan terimakasihku kepada mereka. Sepanjang malam kami tidak bisa memejamkan mata walau hanya sekejap. Kami terdiam dalam pikiran kami masing-masing. Seolah malam itu sangat panjang dan kami tak sabar menunggu pagi.

12 november 2005..
Pagi pun tiba, jam empat kami harus berangkat menuju bandara dan masih dalam kebisuan. Dari kejauhan tampaklah bandara Soekarno-Hatta, sekelebat melintas bayangan bapak di pelupuk mataku dan tanpa sadar airmata sudah berjatuhan. Ya, airmata untuk bapak! Di bandara inilah terakhir kalinya aku melihat bapak, di bandara inilah perpisahanku dengan bapak. Mungkin kalau aku pencipta lagu, akan kuciptakan sebuah lagu untuk bapak, sebuah lagu perpisahan mungkin judulnya 'perpisahan', atau 'saat terakhir' atau apalah. Februari kemarin bapak kesini tanpa lebih dulu mengabari kami anak-anaknya untuk menengok aku yang sedang sakit karena kecelakaan. Masih segar di ingatanku bagaimana bapak datang dengan celana pendeknya yang keren. Saat pintu dibuka dia langsung berlari menghampiriku, memelukku dengan linangan airmata. "Didia di na haccit ito...?" tanya bapak. Aku pun jadi menangis, "boasa tangis ho bapa, dang adong be na haccit nga malum be" jawabku. Memang keadaanku saat itu sudah membaik, tinggal pemulihan. Lumayan lama bapak disini, kami masih menikmati ayam panggang ala mordong. Kami masih sempat belanja-belanja keperluan bapak termasuk celana jeans yang menyadarkan kami kalau selera bapak memang selera anak muda.  Hmmmm....

Akhirnya tiba dibandara, disana sudah ada sepupu-sepupu, ka lis, ros, vera dan berkat. Semua menangis, berpelukan, rasa kehilangan yang sangat dalam. Bapak memang sosok sahabat buat kami termasuk buat semua keponakannya terlebih buat si ros dan kami sangat menyayangkan karena dia tidak bisa ikut pulang. "Pasahat ma tabe tu bapauda", hanya itu yang bisa dia ucapkan.
Tidak lama kemudian tulang dan nantulang tiba di bandara dan langsung mengurus keberangkatan kami. "Sotung adong na tangis, nanti sakit" kata tulang dan kami pun menurut. Dua jam berada diudara, mencoba menikmati karena inilah pertama kalinya naik pesawat tetapi tidak bisa. Pikiran melayang kerumah, membayangkan bapak yang terbujur kaku dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya. Dan kamipun mendarat. Perjalanan dari bandara polonia ajibata memakan waktu kira-kira empat jam, tapi serasa seharian.

Karena sesuatu hal, ketika kami tiba di ajibata kapal yang menuju rumah sudah berangkat dengan sangat terpaksa kami menaiki kapal onanrunggu, dari onanrunggu kami harus naik mobil lagi. Ya... apa boleh buat. Sepanjang perjalanan menuju onanrunggu tak terasa airmata berjatuhan, sesekali aku memeluk dan mencium adikku manatar yang membuat ibu-ibu penumpang kapal kebingungan dan bertanya-tanya sesama mereka. Tulangku segera menjawab, "na mate do bapak ni halakon". Si ibu pun mengerti. Kami tiba di onanrunggu, artinya sebentar lagi kami sampai dirumah. Kenyataannya sepanjang jalan onanrunggu-sirait jalanannya rusak parah semakin memperlambat perjalanan kami. Hari sudah gelap. Aku sudah bisa membayangkan suasana dirumah, mama dan kedua adikku pasti meraung-raung. Dan rumah dipenuhi sanak saudara yang mengasihi keluarga kami dan juga iku t merasakan kehilangan bapak yang terkenal mordong dan humoris itu. Mulai dari nainggolan aku hafal kampung apa dan rumah siapa saja yang akan kulewati hingga sampai dirumah. Dengan menutup mata aku mulai menyebut satu per satu walaupun sesekali meleset dan aku juga sudah dirasuki ketakutan yang luar biasa. Nainggolan... pandiangan... suhutnihuta... sibaganding... lbn karo... onan sirait... sibagas... sidoal... rumah op horas... jembatan... rumah nai kumen... rumah teddi... dan....

"Bapa..... nga robe hami, tomu ma hami bapa... huuuuu, huuuuu", kakakku menangis. Mobil pun berhenti. "Nga sahat be, nga sahat be, awas hamu dalani... tiop, tiop", entah apalagi yang mereka ucapkan. Semua turun dan berhamburan masuk ke rumah termasuk aku. Dan benar! Kami disambut tangisan mama, kedua adikku dan semua sanak saudara termasuk si melda, keponakan bapak yang selalu jadi bahan ledekan bapak. Aku berlari masuk, kulihat bapak terbujur tanpa nyawa. Seolah tak percaya, ini bukan bapak. Bapak kan gemuk, ini seperti bapatua jona abangnya bapak. Aku gemetaran, kakiku tidak sanggup menopang tubuhku padahal aku bertubuh kecil dan akupun jatuh. Segera ditolong oleh seseorang yang aku tidak tahu itu siapa. Yang aku dengar suara nantulang teddi memarahi aku. "He tika! ingot, hurang sehat ho! O.. ternyata nantulang ingat aku baru mengalami kecelakaan. Akupun berdiri, berlari memeluk mama. "oma........" Akhirnya semua masuk rumah dan terjadilah tangis yang sangat memilukan, tangis yang menyayat hati setiap orang yang mendengar, tangis penyesalan, tangis perpisahan, semua bercampur aduk. Aku tak sanggup melihat wajah bapak yang sudah tidak kukenali. Aku takut memeluk bapak yang sudah tidak bernyawa. Aku takut mencium bapak yang pipinya sudah tirus. Aku takut memanggil bapak yang sudah tidak bisa menjawab aku lagi. Aku takut! Pak... si joujo cucu bapak yang bapak sayang itu, tidak mau melihat wajah bapak, dia tidak mengenalimu juga. "Itu bukan oppung mordong, bukan! Mana perutnya, perut oppung mordong kan gendut. Ayo pergi, itu bukan oppung mordong", itu yang diucapkannya pak...

"Au do na sala..." kata adikku riva. Aku tidak berterus terang tentang keadaan bapak. Aku tidak menyangka bapak akan pergi secepat ini. Au do na sala... Kemarin masih segar, masih, masih dan masih. Bulan agustus kemarin kami memang memutuskan riva dan butet pulang untuk membantu mama mengurus bapak yang keluar masuk RS, dan memang kami berharap kesembuhan tapi Tuhan berkata lain..  "Inilah yang namanya uda leo yang baik itu", tambahnya. Sebelumnya riva sudah cerita tentang uda leo lewat telepon. "makasih ya uda" ucapku. Aku menghampiri bapatua jona, "boasa sappe songonon bapatua?" "nunga, nunga, naung tikkina do i, toema" jawabnya. Malam itu kami mengikuti acara demi acara, kami duduk mengelilingi tubuh bapak, termasuk acara dari N-HKBP sirait. Tak berdaya aku mengikuti ini. Seolah tidak percaya tapi ini kenyataan dan harus kuterima. Dulu aku yang rajin mengikuti acara ini jika orangtua dari salah satu temanku meninggal, sekarang tibalah giliranku. Oh.. Tuhan, beri aku kekuatan, sungguh aku tidak sanggup. Kira-kira jam sepuluh bapauda dan inanguda sampai, mereka pun menangis dan tangis kamipun semakin jadi, sampai-sampai kami ditegor dan dimarahi. Tiba-tiba lampu mati, refleks aku dan riva berpelukan sambil menangis, "bapa... nga mabiar be hami...." "He, pantang!" Entah suara siapa itu, dan kamipun diam. Tak lama kemudian lampu hidup kembali. Malam semakin larut, kami disuruh istirahat, agar besok kami kuat mengikuti acara pemakaman bapak. Kami tidur di ruang belakang, kulihat bapauda mersi disitu, aku baru sadar dari tadi aku tidak melihat dia ada di antara sanak saudara yang menanti kami, ternyata ini dia. Aku segera memeluknya,"uda... ai boasa dang diingani ho bapai?" tanyaku. "modom nama au, naeng marhobas au tibu manogoti, mate abangku" jawabnya sambil menutup kepalanya dengan selimut. Aku tahu, bapauda juga tidak siap dengan ini semua, bapauda pasti menyimpan banyak hal tentang ini semua, termasuk kami anak-anak bapak yang ditinggal. Kami tidur, hanya menutup mata saja. Tentu tidak akan bisa nyenyak, jam empat kami disuruh pindah ke ruang depan. Ya Tuhan... bagaimana mungkin kami bisa tidur dengan bapak dengan keadaan seperti ini, bagaimana mungkin kami tidur dengan bapak yang sudah tanpa nyawa? Pak... kaupun pasti memaklumi itu, kaupun tahu bagaimana anak-anakmu ini, kaupun hafal dengan sifat dan kebiasaan anak-anakmu ini.

13 November 2005...
Pagi-pagi sebelum acara adat dan pemakaman dimulai. Mama mengajak kami bernyanyi untuk bapak. Sijoujo sudah mau melihat wajah oppungnya. Mungkin semalam dimimpinya, joujo dan oppungnya sudah berbincang-bincang, oppungnya sudah meyakinkan joujo kalau dia adalah oppung mordongnya yang dulu gendut tapi sekarang sudah kurus karena sakit. Dan mungkin mereka sudah bermain bola, mungkin oppungnya juga sudah mengusap-usap punggung joujo seperti yang dilakukannya selama ini. Kami semua pun bernyanyi tentu sambil menangis.

"Apa yang kau alami kini mungkin tak dapat engkau mengerti,
 satu hal tanamkan dihati indah semua yang Tuhan beri.
 Tuhanmu tak akan memberi ular beracun pada yang minta roti,
 cobaan yang engkau alami takkan melebihi kekuatanmu.
 Tangan Tuhan, sedang merenda suatu karya yang agung mulia,
 saatnya 'kan tiba nanti, kau lihat pelangi kasihNya"

Salah satu lagu penguatan buat kami, dan kami sangat percaya itu.

Kami keluar rumah hendak mandi kedanau toba, diluar kami melihat sebuah bunga papan persembahan dari muda-mudai IBM'S ucapan turut berdukacita mereka atas meninggalnya bapak. Aku menghampiri mereka dan mengucapkan terimakasih yang tak terhingga untuk semua yang mereka berikan.
Kami bergegas membereskan diri untuk segera mengikuti acara demi acara. Bapauda mersi melihat dan memperhatikan kami ketika berdandan. Entah apa yang ada dipikirannya. Mungkin dia berpikir, kecentilan boruku ini, bapaknya sudah tiada tapi masih sempat-sempatnya berhias. Atau bisa saja, kasihan boruku ini, kelak kalau menikah bapaknya sudah tidak bisa mendampingi. Entahlah...

Acara pun dimulai, dari memasukkan bapak kerumah 'kecil'nya, mangalean saput, mangalean ulos tujung ke mama yang artinya mama sedang berduka yang amat sangat dalam. Acara ini sangat menguras airmata, ada beberapa ibu-ibu yang juga sudah mengalami bagaimana sedihnya menerima ulos tujung. "Jaloma eda na hacciti...., rap ma hita manaoni...., naung parjolo do au da edaku makkillaali...., jalo ma edaku..., jaloma"
Siapa yang tidak sedih mendengar itu, airmata siapa yang tidak menetes mendengar itu, anak siapa yang tidak meraung-raung melihat ibunya seperti ini? siapa?? Hari ini hari minggu, menurut aturan gereja hari ini diadakan kebaktian minggu disini bersama-sama bapak. Hari ini saat terakhir bapak kebaktian bersama-sama dengan orang-orang yang sangat dicintainya. Hari ini hari terakhir bapak mendengarkan kotbah, hari ini hari terakhir bapak... hari ini hari terakhir bapak... memang hari ini hari terakhir bapak! Banyak yang mengatakan hari ini hari yang menguntungkan buat bapak, (menguntungkan bagaimana?) dimana semua orang terbebas dari pekerjaan rutinnya sehingga bisa mendampingi bapak di hari terakhirnya.

Acara berikutnya adalah acara yang diadakan dihalaman rumah, bapakpun diangkat kehalaman. Sebelum acara dimulai kami dan semua yang hadir makan bersama. Kami makan tidak dengan bapak, padahal bapak ada disana. Alangkah sedihnya.Bagaimana mungkin ini terjadi? Teringat akan seorang anak yang berumur kira-kira 5-6 tahun ketika bapaknya meninggal. "marpesta hami, mangallang jagal mate bapakku". Apa kami juga sedang marpesta? Aku melihat bapauda mersi berdiri jauh dari kami, segera aku menghampirinya. "Uda, ai disan ma ho huddul, rap mangan ma hita" Tapi apa jawabnya "marhobas dope au".  Acara demi acara kami ikuti, dari mandok hata, mangulosi bapak, kami anak-anaknya juga cucunya joujo dan bona. Ditengah-tengah acara 'seseorang' yang tidak asing buat aku hadir ikut melepas kepergian bapak, dia tersenyum dan dalam hati aku berkata "kau hadir disini bukan karena aku, tapi karena adat", terimakasih.

Tibalah acara pelepasan, dimana saat terakhir kami bisa menyentuh, mencium atau apalah untuk bapak. Dan itu tidak kulakukan! Aku hanya berkata dalam hati "pak, tanpa mengurangi rasa kehilangan, rasa sayang, cinta dan hormatku terhadapmu, aku nggak sanggup pak, tidak akan pernah sanggup! kau tahu itu kan pak!".
Saat yang paling menyebalkan, saat yang paling tidak kuinginkan, saat suara palu menutup peti bapak. Aku tak sanggup mendengar suara itu, aku tak sanggup melihat adegan itu, aku tak sanggup melihat wajah mama, kakak, adik dan semuanya. Aku tak sanggup mendengar raungan kepedihan itu, aku tak sanggup mendengar semua kata-kata penghiburan itu, aku tak sanggup mendengar nyanyian pengantar bapak ke pemakaman, aku tak sanggup! Segera kututup wajahku dengan ulos yang kupakai. segera kututup kedua telingaku dengan tanganku. Aku tak mau itu semua. Entah siapa yang memelukku dari belakang yang kemudian menuntun aku masuk ke mobil mengantar bapak ke pemakaman. Kemudian hujan turun menambah kesedihan kami, menambah airmata kami yang sudah terkuras habis. Dimobil semua diam, hanya airmata yang menetes, kulihat bapatua jona yang duduk menunduk, satu persatu airmatanya jatuh diatas peti bapak. Aku tahu, 50 tahun lebih mereka bersama dan hari ini, saat ini harus terpisah oleh kematian, yang tidak akan pernah bertemu sampai kapan pun.

Sesampai di pemakaman peti bapak dimasukkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir, kembali kami menangis, kali ini lebih pilu, lebih berat, lebih sedih, beginikah rasanya kehilangan? "Bapa... tung tulus maho na lao i ate, dang di ingot ho hami gellengmon, ise do na lao pamuli dohot pangolihon hami sogot, alai lao maho da... sonang ma ho!" sambil memberikan segumpal tanah perpisahan buat bapak. "Haccit do hape"
Seorang teman bapak melempar segumpal tanah, dengan nada kesal dia berkata "aut dijalo ho i, dang na laho mate dope ho". Aku kebimgungan mendengar itu, entah apa maksudnya. Hanya dia dan bapak yang tahu.

Prosessi pemakaman selesai aku kembali ke mobil untuk pulang, sebelum mobil bergerak joujo berkata "nanti jam lima oppung mordong hidup lagi" Aku kaget, kulihat jam tanganku, jam lima kurang seperempat. Kutanya adikku riva "toho doi?" Dia menjawab, "naung rittik do ho haroa" dan akupun diam dan berhayal, membayangkan bapak hidup lagi, dan segera menyusul kami pulang kerumah dan keajaiban pun terjadi. Aku tersadar, dan itu tidak akan terjadi. Sampai dirumah, hujan sudah berhenti dan aku melihat tenda-tenda rubuh berantakan, seorang adikku nyeletuk, "toho do kan, gogo udan tenda maruppak", entahlah...
Segera kami membersihkan diri dan "didia do hita modom?"